Pertemuan
malam itu, tiang-tiang kota
memeluk wajahmu yang muram
kelelahan mengendarai punggung
kota hingga hampir pagi
di alun-alun itu,
aku ingat seorang Ibu
yang mengusap peluhmu
dengan bakul kopi jualannya
lampu kota mati
seakan-akan itu sebermula
dari
perpisahan
yang tertunda
(Malang, 2017)
Pada Mulanya
Tuhan menciptakan pundakku
untuk mengairi sungai tangismu
yang bermuara—
di jantung kata-kataku
(Malang, 2017)
Stanza untuk V
sepotong sore terlipat waktu
burung-burung kembali melingkar
di atas atap gereja
sedang aku menatap pantulan
wajahku pada kaca retak di dinding
hidungmu yang nyaris tenggelam
dan menciumi bau jejak sajak
yang tersesat di bibir cangkirmu
(Malang, 2017)
Samudera Tangis
aku ingin menjadikan
tangismu sebagai samudera
tempat anak-anak puisiku
berlayar menuju matamu
di tengah pelayaran
karam tak menghalangi
anak-anak puisiku
menenggalamkan diri
menuju kedalaman hatimu
(Malang, 2017)
Ibadah
aku menjadikan rindu
sebagai kiblatku dalam
mencintaimu
tubuhmu serupa sajadah
di atasnya aku
khusyuk beribadah
(Malang, 2017)
Perpisahan
saat aku menuliskan frasa
pada larik akhir puisiku
kau datang membawa fragmen duka
mengalungkan rumbai bunga di leherku
(Malang, 2017)