TUA
Tua itu identik dengan kusam,
Lihatlah kota tua di kotamu
Tua identik dengan jaman dulu,
lihatlah monumen monumen di kotamu
Tua itu aneh,
Lihatlah jika kau berkeliling kota dengan sepeda onthel,
dan busana komprang
Tua itu tinggal kenangan,
Lihatlah puing puing loji dan candi yang tidak terawat
rapuh tergerus waktu
Tua itu jelek,
Lihatlah bejana jiwa yang terbungkuk,
Tertatih dan lemah
Tua itu menyakitkan,
Lihatlah segala simbol kebesaran
itu perlahan menjauh
Tua itu sepi
Lihatlah keheningan itu
di bilik panti wredha
Membuatku takut
Ingin berlari namun kaki ini terkunci
Ingin berteriak namun mulut ini tercekik
Sekonyong konyong
Sayup sayup aku mendengar suara
merdu membelai telingaku
Melekat terasa meski aku
telah terjaga dari buaian nyenyakku
Tua itu indah, kekal
Keindahan tidak muncul dipandang
melainkan dirasakan
dinikmati
Tua sudah pasti datang
Tua hanya selembar kulit
Tua itu sebuah perubahan pasti
menuju peleburan dengan semesta
menuju keabadian
Lihatlah prasasti itu
Tua namun dikenang dan meneladan
Bagi bejana bejana muda
dalam perjalanan menuju ketuaannya
hingga menjadi indah pada akhirnya
Warisan abadi
tuk generasi berikutnya
Menuju tua itu bukan menuju akhir,
Menjadi tua itu permulaan baik
bagi anak anak kita
Menyambut musim panen
menuai benih yang telah kita tanam
di masa kita
Dan
Kita akan merasakan indahnya
pernah menjadi muda
— Ben Sadhana
EMBUN
Embun bening menyapa
kemilau membuai netra
mengalirkan sejuk sanubari, menyegarkan raga
Mengejawantahkan jejak jejak kontemplatif
Tanah semak daun menggelinjang
Dijejak kaki berpesta
Embun
bening
sejuk
segar
Bening di setiap wadahya
menyegarkan sekeliling
menyemburatkan kedamaian
di relung relung kehidupan
Oh embun
segala berkat keindahan
kerinduan mendayu tak tertahan
hingga hadirmu
Embun
bening
sejuk
segar
belailah jiwa ini
rengkuhlah
jadikankanlah
bening sejuk segar
Membeningkan
menyejukkan
dan menyegarkan
O Embun
bening
sejuk
segar
— Ben Sadhana
KITA BERBICARA TENTANG KEPEDULIAN
Aku sering dengar soal kepedulian terucapkan
Kepedulian yang entah asal mulanya
Sekejab menjelma kepedulian yang jamak
Ada kebanggan heroisme di dalamnya
Darimu, darinya, dari mereka, dariku sendiri
Belarasa, pendoktrinan, pemulihan, pembalasan
Nafsumu, nafsunya, nafsu mereka, nafsu kita
Menyatu dalam syahwat yang membias
Engkau punya kepedulian
Dia punya kepedulian
Mereka punya kepedulian
Aku punya kepedulian
Engkau menentangku
Dia menentangmu
Mereka menentang kita
Dan kita pun bertentangan
Kau peduli karena dia saudaramu
Dia peduli karena mereka sekongsi
Mereka peduli karena kita seperjuangan
Kita pun kembali terpecah
Kita berseberangan
Kita bersitegang
Kita bersekutu
Kita berselisih
Pernahkah sejenak kita berpikir
Untuk apa dan siapa kah sesungguhnya kepedulian itu
Mengapakah kepedulian itu menjadi sekuler dan sektarian
Mengapakah kepedulian itu tidak satu
Masih adakah kepedulian
Jika karenanya saudara kita tersakiti
Masihkah layak kepedulian
Jika karenanya kita mengabaikan yang tidak sedogma
Mengapakah kepedulian menjadi tidak adil
Ketika pekik kepedulian bukan juga untuk mereka
Meski mereka terima penindasan dan derita yang sama
Mengapa kepedulian menjadi tendensius dan tidak menerus
Kita hadir melalui jalan rahim yang berbeda
Namun Esa yang meniupkan ruh kepada kita
Kita hadir kini berkat adanya cinta kasih
Hukum tunggal yang semestinya engka maklumkan
Di manakah pedulimu bila ada rasa berhak memilih
Bisakah engkau jelaskan secara jernih
Aku bukan sedang ingin menghakimimu
Sebab kita sedang berbicara tentang kepedulian
— Ben Sadhana
Ben Sadhana, alias Benediktus Agung Widyatmoko dilahirkan di Yogyakarta pada 30 Maret 1972. Ia mengawali prestasi menulisnya ketika pada tahun 1989 karyanya berjudul Serba Ada Belum Tentu Sayang Anak berhasil memenangi lomba mengarang tingkat SMA se-Kalimantan Tengah dalam rangka peringatan hari anak nasional yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan provinsi Kalimantan Tengah. Menjadi kontributor dalam buku Indonesia Memahami Kahlil Gibran yang diterbitkan oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada tahun 2011.Tahun 2009, Karyanya berjudul Becik Ketithik Ala Ketara meraih juara ke-2 Lomba Nasional Blog bertema Aku Untuk Negeriku.Karya puisinya berjudul Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai masuk sebagai nomine pemenang dalam Krakatau Award 2017.
Bermukim di Surabaya, Penulis penyuka travelling yang tergabung dalam Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) ini dapat dikenal lebih jauh melalui blog pribadinya https://bentoelisan.wordpress.com dan juga email-nya : benwidyatmoko_agung@outlook.co.id.